Menu Atas

OZ Themes
Saturday, February 6, 2021, February 06, 2021 WIB
Last Updated 2021-03-16T02:56:04Z

Rumah Tanpa Televisi

 

(Ilustrasi: google.com)


Lapmijuang- Kota pendidikan samata cukup sepi ahir-ahir ini, pandemi mengusir seluruh perantau untuk pulang bahkan mengusik berjalannya roda kehidupan termasuk pendidikan. Lalu membuat kita juga lari dari sunyinya hiruk pikuk samata yang berbeda dari biasanya.

Semua dari kita masing-masing punya cerita di tengah pandemi ini. Mulai dari kesiapan kita menghadapi virus, mental untuk di rumah saja dan watak masyarakat luas menghadapi virus juga menghadapi kita yang balik rumah di tengah pandemi ini. 

Tapi kita tak ingin bicara watak masyarakat menghadapi corona seperti yang saya hadapi saat pertama pulang kampung dari kota, sebab kepanikan masyarakat tentu ada indikasi lain yang setiap saat mereka konsumsi diantaranya dari berita media sosial maupun televisi yang membuat kepanikan.

Saya suka membaca tentang hal lain dari pandemi ini sebab berita di media cukup menakutkan. Semisal pengalaman orang di rumah yang punya cerita tentang kekosongan hari, di tengah hidup yang amat terbatas untuk beberapa kelas sosial. Rumah tanpa Televisi sebagai simbol hidup di tengah kemajaun ini.

Saya meyakini beberapa dari kawan-kawan seperjuangan di tanah sulawesi sana sedang berbaring menikmati televisi sembari membaca, atau menikmati makanan ibu sembari meneguk teh hangat di ruang keluarga di depan televisi, atau memantau konstelasi dunia dari layar satu arah bernama televisi.

Ya cara kerja televisi adalah komunikasi satu arah, seperti menonton ustadz yang berkhotbah pada solat jumat, atau seperti mendengarkan beberapa dosen bajingan yang bercerita kosong, tak bisa dienterupsi. 

Bayangkan saat menonton televisi tiba-tiba seorang aktivis anarkis menginterupsi pidato kekuasaan di jakarta yang sedang berkumandang meyakinkan rakyat bahwa pemerintah bisa dipercaya, atau seorang kader hijau hitam mengikuti sholat jumat dan menginterupsi seorang ustadz yang menanamkan doktrin kafir mengkafirkan. Dan yang paling sering terjadi menginterupsi dosen saat bercerita kosong dan mendapat nilai E karena kurang beradab.

Sejak saya lahir dan mungkin sebelumnya di rumah saya tidak pernah memiliki televisi melebihi satu kali. Itupun ada sewaktu saya kelas enam Sekolah Dasar, televisi pemberian sepupu dari kalimantan dan kami hanya menggunakannya selama sebulan lalu rusak. Masa itu musim piala eropa sedang bergulir. 

Orang di rumah terkadang punya inisiatif untuk membeli televisi tetapi takdir memang memungkinkan kami tidak memiliki televisi. Iya karena takdir menjadikan kami termasuk sebagai keluarga kelas bawah atau kelas proletariat dalam kelas sosial saat ini.

Beberapa alasan keluarga saya tidak masuk dalam keluarga borjuasi atau kelas pemilik modal adalah orang tua saya tidak memiliki sawah atau tanah sebagai alat produksi kehidupan, pernah punya sawah tapi digadaikan untuk biaya kuliah saya dan dua saudara saya.

Ibu saya bukan seorang gadis tamatan kuliah atau SMA sehingga bisa bekerja menjadi sekretaris para pemodal atau menjadi abdi negara lainnya. Bahkan saat saya masih duduk dibangku sekolah dasar seringkali saya mengajari ibu saya membaca. Ya betul ibu tidak terlalu mahir dalam banyak hal, salah satu aktivitas utamanya adalah menjadi buruh tani harian di desa. 

Begitupun dengan ayah saya yang tidak punya keahlian menguasai bidang tekhnik lainnya selain mengotak atik alat listrik dan memegang cangkul untuk menghidupi anak istrinya. Ya ketika bukan musim panen ia banyak menghabiskan masa tua menjadi hamba tuhan yang cukup rajin bolak-balik rumah ibadah.

Di atas hanya sedikit gambaran bahwa menunggu Program Keluarga Harapan dari pemerintah tak banyak baiknya dan lebih baik kita tidak menaruh harap yang indah pada retorika para politikus di televisi dan di layar mini gawai kawan-kawan yang mahal itu.

Beberapa alasan di atas menjadi cukup kuat bagi saya dan orang-orang di rumah untuk tidak membeli televisi, karena perekonomian yang kurang indah, tagihan listrik akan naik, adik dan ayah saya akan lebih rajin memasang wajah di hadapan televisi dibanding menikmati hari-harinya seperti biasa.

Alasan lainnya karena televisi banyak memberikan kebohongan, lebih suka menyiarkan berita pembunuhan dari pada menginvestigasi kerugian rakyat oleh para koruptor, kerugian rakyat karena tambang dan liputan lainnya yang seharusnya dilakukan untuk memberantas kekuasaan yang abadi dengan penindasannya.

Sekalipun televisi hanya alat kepentingan kekuasaan dan kapitalis, tetapi televisi mampu memvramingnya seperti menyiarkan ceramah ustadz untuk menarik penonton atau menyiarkan liga dangdut untuk ditonton oleh rakyat yang lelah bekerja seharian. Tetapi memang semua itu sulit dilepaskan dari logika ekonomi, keuntungan rating dan lain-lain.

Televisi menjadi barang jelas untuk menyampaikan iklan dan komunikasi lainnya yang bermanfaat dan tidak bermanfaat sekalipun. Itu tergantung Komisi Penyiaran Indonesia sebagai pemantau jalannya penyiaran. Bayangkan saja hampir setiap rumah memiliki televisi, baik dari petani hingga para bankir menonton iklan dan akrab dengan produk yang diiklankan.

Menjadi hal yang wajar saja jika para politisi, para pengusaha, para penguasa berbondong-bondong beriklan ditelevisi karena barang jelas banyak yang akan menyaksikan cara kerja hegemoni mereka yang akan ditonton oleh jutaan rakyat yang akan menjadi seorang konsumen dan akan tetap abadi menjadi konsumen. Mereka tidak hanya menjadi konsumen barang pabrik lainnya tapi juga barang pabrik dari televisi yang melahirkan informasi penting juga tak penting untuk disaksikan.

Sisi lain juga televisi telah banyak menyampaikan kabar baik kepada khalayak semisal tentang korupsi bank centuri, hambalang, korupsi daging, korupsi al quran sampai yang terbaru dan tengah kita hadapi yaitu informasi serta edukasi tentang wabah corona.

Dari televisi pula kita sering melihat pertarungan perebutan kekuasaan, perdebatan sengit menjaga citra politis sampai demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi akan cukup keren memang diliput dibanding dengan menayangkan acara curhatan para selebriti. 

Ini Menjadi hal yang bagus karena di rumah saya tidak punya televisi, jika ada ibu saya akan cemas ketika mendapat kabar atau melihat tiba-tiba muka anaknya saat demonstrasi muncul televisi, tapi saya menjadi tidak yakin kalau ibu dari kawan mahasiswa lain tidak melihat anaknya sedang demonstrasi bahkan saat melempari polisi.

Palingan ketika ibu tahu saya sedang berunjuk rasa melalui televisi tetangga, ia hanya akan mengirimkan doa, ia cukup paham dengan jiwa muda anaknya. Atau ketika ia marah karena saya ikut unjuk rasa, sepulang saya dari perantauan saya akan berdiskusi panjang dengannya atau mendengarkan lagu Biar Ina Tenang dari Sombanusa sembari mengenang masa perjuangan membesarkan anaknya.

Iya, demonstasi menjadi hal buruk di mata orang-orang di kampung saya. Bahkan tante saya saat september 2019 silam hampir setiap saat menelpon dan mengingatkan untuk tidak ikut demo. Demonstrasi menjadi buruk, melawan kekuasaan menjadi buruk, anarkis menjadi buruk dan pemerintah takan pernah buruk. Mungkin salah satu sebabnya karena televisi milik oligarki cukup kuat menyoroti kebrutalan massa aksi akibat kurang percaya pada pemerintah.

Saat membuat tulisan ini saya sering membayangkan televisi mempunyai andil yang baik pada agenda agitasi bahan bakar revolusi. Bayangkan saja revolusi lahir dari televisi, bayangkan para penonton yang di rumah saat menyaksikan seorang orator berteriak di layar televisinya langsung berdatangan ke depan gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Gedung Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk berunjuk rasa ganti sistem pemerintahan atau meniadakan pemerintah.

Bahagialah saya tidak punya televisi di rumah seandainya ada keluarga akan pusing menyaksikan banyak kawan-kawan pejuang ditangkap oleh negara. Dengan alasan paling besarnya melindungi segenap konstelasi palsu yang berusahan diatur oleh pemerintah di bawah kekacauan yang diam berupa kemiskinan, kelaparan dan kematian.

Orang-orang di rumah menjadi rakyat yang tenang, tak banyak diperdaya oleh televisi sekalipun ayah sesekali kelewatan malam dengan mencari informasi di televisi tetangga. Setelah itu pulang membawa berita dari televisi mulai dari kekisruhan ketakukan penumbangan pemerintah dan penangkapan aktivis pro kesetaraan karena melakukan vandalisme.

Selepas itu kami akan menyeruput kopi pagi dan akan berbicara panjang keburukan negara yang aku baca dan tak ayah tahu. Lalu esoknya ayah lagi yang bercerita tentang penggundulan hutan oleh pemerintah desa yang meraup keuntungan pribapribad

Ayah sesekali mengeluh karena tidak ada televisi di rumah, tapi ia juga bersukur bisa menghabiskan masa tua dengan bahagia. Begitu juga dengan ibu, rumah tanpa televisi bisa membuatnya tidur dengan tenang setelah lelah bekerja dan adik saya akan mau membaca buku anatomi negara dan buku lainnya dibandingkan menonton kebohongan yang ada di televisi. 

Penulis: Lihind

(Penulis Merupakan Direktur Lapmi Juang HMI Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya)