Menu Atas

OZ Themes
Sunday, March 7, 2021, March 07, 2021 WIB
Last Updated 2021-03-16T02:55:56Z

Analisis Perbandingan Kesigapan dan Respon Pemerintah Terhadap Penanganan Covid-19

Penulis: Andi Haerur Rijal, Mahasiswa Pascasarjana Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas Makassar.

Lapmijuang - Melihat pidato Presiden mengenai relaksasi kredit pada tahun lalu dan lain-lain, lalu juga menyambung dengan beberapa hari lalu dengan gagah disambut oleh Prabowo kapal dari cina yang membeli rapid test dan segala macamnya. Akhirnya juga bagus, beli rapid test, terus ada juga restrukturisasi ekonomi tapi menurut saya ini adalah buah dari penutupan informasi dari pemerintah. 

Ketika ratusan bahkan ribuan orang sudah jadi korban di cina dan lainnya yang meluas dan infonya sudah mendunia dan eskalasinya sudah meningkat, saya pikir pemerintah masih sibuk mau ngeluarin 72 Miliyar untuk buzzer untuk mengeskalasikan soal pariwisata, menganggap enteng sejumlah pimpinan partai dan Menteri-menteri menurut saya hari-hari ini mengingat dan membaca berita-berita itu kayaknya agak sakit hati juga kita sama pejabat-pejabat itu khususnya Menkes yang menurut saya harus mundur hari ini tapi tak mundur-mundur mungkin nunggu dipecat sama Presiden. 

Tapi menurut saya ini semua pemerintah menganggap enteng soal virus pandemi ini. Sampai-sampai negeri kayak Itali saja luluh lantah sistem kesehatannya. 
Jadi saya mau apresiasi pemerintah tapi juga saya mau mengingatkan pemerintah, mari kita bersama-sama. Stand poinnya adalah untuk menangani masalah ini ialah transparansi dan keterbukaan, jadi ngajak warga. 

Jadi kalau kita mau minta data untuk dibuka kita bukan mau minta nama pasiennya, karena itu adalah kode etik kedokteran. Tetapi karena ini pandemi makanya kami ingin tahu asal usulnya, mutasinya, faktor-faktor trans movingnya, seperti apa reaksi mengendapnya dan penetaan petanya itu seperti apa, inilah yang penting dibuka. Dan ini masalah publik bukan masalah penyakit yang nempel diseseorang yang harus dilindungi datanya. 

Jadi ada berlapis-lapis hal yang ditutup-tutupi oleh Pemerintah hari-hari ini, yang punya tugas menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan lalu juga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Itu semua ada semua tugasnya kepada pemerintah. 

Dengan situasi ini kita sekarang mulai menyicil yang saya yakini, menganjurkan dan juga bahwa penanganan ini harus komprehensif dan multilayers. Komprehensif itu bukan hanya satu angel tapi harus berbagai sisi ruang dan juga berlapis-lapis, artinya bukan juga pakai masker tetapi cuci tangan, kalau bisa pula menghindari mulut, hidung, mata atau hal-hal yang membuat bisa virus itu masuk kedalam badan tetapi juga kalau bisa badan itu sehat. Artinya ada berbagai hal yang harus dilakukan. Itu di level masyarakat. Tetapi di level Negara atau Pemerintah harusnya komprehensif dan multilayers.

Dengan situasi seperti ini bisa melakukan pengurangan perpindahan orang, penutupan bandara, penutupan stasiun, terminal dan lainnya itu semua sebenarnya sudah diatur dalam Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Nah, artinya tidak cuman warga, tidak cuman pemerintah pusat tetapi juga Pemerintah Daerah. Nah inilah yang dimaksud multilayers dan komprehensif yang semuanya bekerja dan mengambil peran dan setiap saat dilakukan hal-hal tersebut. Kalau ini semua tidak dilakukan, itulah yang masuk kepada situasi-situasi yang menurut saya sangat lagi-lagi melukai kita. Kita lihat Dokter sudah Delapan orang yang meninggal yang Dua diantaranya Professor. Kita lagi teriak-teriak dana Pendidikan banyak dipotong, kekurangan Professor, dari segi kesehatan minim, Professor kita hilang gara-gara yang saya dapat gambar dari Maluku Utara dimana teman-tean di sana bikin posko yang mana Dokternya dan pekerja medisnya pakai jas hujan karena mereka juga tidak tau, tidak dapat alat yang disuplai.
 
Virus ini lebih cepat dari kebijakan publik negara. Negara harus belajar dari virus ini bagaiman ia cepat menyebar. Negara sekarang ini beradu cepat dengan Virus Covid-19 ini bahwa bisakah Negara bekerja cepat dengan virus. Lebih cepat kalo perlu, sebelum virus datang Negara harus lebih awal datang jadi bukan lebih dulu hadir tapi Negara harus cepat sebelum virus datang pimpinan mestiya harus lebih cepat.

Balik ke soal tadi, para pekerja medis, kelelahan, kalo soal sholat atau beribadah Insyaallah kalo menurut agama masing-masing Insyaallah sudah ada justifikasi untuk merelaksasi ibadah mereka. Tetapi badan mereka itu tidak bisa dibohongi, itu hukum yang lebih utama. Hukum yang lebih utama ialah hukum yang terkait dengan alamiah kita. Nah, untuk dokter-dokter itu yang selain juga dokter-dokternya terbatas, informasinya terbatas, tidak ada support hari ini, sama juga dengan pedagang kaki lima ataupun Ojol yang ada di luar sana. Tetapi saya cuman mau bilang, makanya mereka muncul campaign bahwa anda di rumah saja biar kami yang kerja.

Akan tetapi yang saya lihat hari ini adalah pemerintah pusat maupun daerah sama aja yang gak beda jauh dengan pekerja medis yang cuman bisa campaign yang anda di rumah dianjurkan, Gubernur Jakarta bikin seruan atau himbauan, semua seruan dan himbauan yang menurut saya sudah tidak bisa. Terus pemerintah pusat mengatakan kami tidak akan lockdown, jelas memang karena tidak istilah lockdown dalam hukum kita tapi yang dikenal dalam hukum kita adalah Karantina.

Karantina itu bisa sifatnya Nasional bisa lokal dan bisa sifatnya di daerah Rumah Sakit. Ada konsentrasi tempat-tempat bagaimana harus dilakukan untuk mengetes, pemulihan, atau perawatan, nah inilah yang bisa dilakukan. Tetapi dalam sisi data penyebarannya sampai hari ini kita tidak tahu. Kalau semua dikonsenterasikan di Balitbangkes, lalu di Balitbangkes kita juga tidak tahu distribusi datanya juga seperti apa, dia harus adu balap cepat dengan virus, yang ada orang akan bingung bergeraknya akan bagaimana kalau sifatnya masih seruan. Makanya saya lagi-lagi menekankan sudah tidak bisa lagi seruan.

Saya mohon maaf bukannya saya tidak menaruh perhatian atau tidak peduli sama kawan-kawan yang punya ketahanan ekonomi yang tidak kuat seperti kelas menengah justru saya meminta supaya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan itu diberlakukan. Dengan diberlakukan, kita bisa melihat bahwa ada ketegasan negara. Disitu negara atau pemerintah berbeda dengan kelompok-kelompok profesi, kelompok-kelompok pekerja, masyarakat. Masyarakat sekarang juga kan saling himbau, saling tukar informasi, jangan negara datang ikut nongkrong di warung kopi yang istilahnya yah ikut ngobrol kayak �makanya dirumah aja�, saya kira tidak bisa begitu.

Kita punya negara, didalam negara ada pemerintah, tugasnya untuk mengurusi masyarakat bahwa orang berdebat definisi pemerintah apa, kualitas pemerintah seperti apa, hari ini itu sudah tidak ada ruang berdebat, waktu kita berdebat virus malah bekerja. 

Jadi saya mau bilang gunakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang tanda tangan Joko Widodo bukan Susilo Bambang Yudhoyono, Bukan Megawati, bukan Abdurrahman wahid, Bukan Habibi, Bukan Soeharto dan bukan Soekarno. Yang membuat Undang-Undang ini Namanya Joko Widodo.

Saya melihat Pemerintah Pusat tidak mau lockdown, karena pemerintah pusat mau menghindar dari tanggung jawab untuk mengurusi warganya yang minta kalau dua minggu disuruh diam di rumah harus mengirim pula bahan pangannya. Pedangan kaki lima tidak minta barangnya dibeli.

Dalam konteks Covid-19 ini makin tua makin rentan. Dari sisi data kedokteran walaupun saya bukan orang kedokteran tetapi saya baca data bahwa di atas angka 60-80 tahun itu tingkat kematiannya lebih dari 20 %, nah disitulah negara harusnya tanggung jawab. Berbeda dengan para pekerja medis yang bikin hastag campaign bahwa anda diam di rumah kami yang bekerja, jangan negara yang menghimbau.

Saya protes dengan Presiden Joko Widodo, saya protes sama Gubernur, dan semua pimpinan daerah atau sektoral-sektoral yang hanya menghimbau dan uang himbauan itu ujungnya apa?, Bayar buzzer, beli spanduk, nyetak spanduk, yang seperti itu tidak akan nolong. Lebih baik duitnya dipakai buat pekerja medis, panggil WHO datang, ini negri sangat besar, bantu kami datangkan internasional kalau memang gak bisa. 

Waktu ngomong investasi Omnibus Law mau membayangkan investasi dari luar giliran mau ngomongin kesehatan kok kikir sekali mau kerja dengan internasional. Kenapa dobel standar seperti ini? Mestinya ini saat yang tepat buat Joko Widodo mengurusi rakyatnya. Nenek nenek yang sudah 70 tahun umurnya misalkan masih menjual nasi kuning. Anak muda putus kuliah, mau ngojek, mau cari duit, cuman kalau mau ditutup Namanya lockdown, yang apa-apa down itu terserah yang penting jaminlah kebutuhan masyarakat.  

Jadi ini juga sekarang aneh, tidak mau lockdown tetapi polisi sekarang sedang mutar kemana-mana untuk bubarin orang, di mana-mana juga sekarang diperiksa, yang mana pula juga menurut saya ini sudah bagus.

Dalam konteks Hak Asasi Manusia ini kesempatan negara untuk menunjukkan bahwa negara  bertanggung jawab atas kesehatan yang lebih besar, virus supaya tidak meluas, dan disitu negara harus melakukan fungsi perlindungan, membatasi orang. Kalau orang dibatasi, tetapi kebutuhannya atau kemampuannya harus dijamin mulai dari pangannya, logistiknya, termasuk orang-orang yang bekerja, harus istirahatnya, orang yang kerja di PLN harus dijamin tranportasinya, kesehatannya, jam istirahatnya dalam situasi seperti ini. Jadi memang ada orang-orang tertentu yang harus dilindungi oleh negara dan itu adalah tugasnya negara. Kita tidak bisa serahkan kepada institusi tertentu untuk membangun perlindungan sendiri, itu sungguh tidak bisa. 

Di mana-mana sebetulnya sudah terjadi praktek lockdown, tetapi karena negara tidak pernah muncul, akhirnya yang didorong ialah Polisi. Sekarang saya mau tanya polisi apa dasar hukumnhya? Palingan pake Undang-Undang Darurat atau beberapa undang-undang lain. Tetapi saya cuman mau bilang yang paling relevan sekarang ialah negara memutuskan karantina, menetapkan di mana mereka harus melakukan karantina dan bertanggung jawab melakukan apa. Sampai disitu bisa memobilisir Polisi, bisa memobilisir TNI untuk melakukan sejumlah hal. Polisi sudah benar hari-hari ini dari melakukan himbauan, menyuruh orang dan lain-lain tetapi alangkah baiknya kalau kapasitas itu muncul dari kepemimpinan nasional untuk mengatakan bahwa kita Karantina, tidak usah pakai Bahasa Lockdown. Benar Ketua BNPB bilang bahwa tidak dikenal istilah lockdown, yang dikenal ialah istilah karantina.

Nyatakan Karantina, ini sudah wabah penyakit, sesuai dengan Undang-Undang tersebut lalu ditentukan lokasi-lokasi mana. Orang-orang yang kena dampak bukan hanya dapat relaksasi pajak, bukan hanya dapat bantuan-bantuan keringanan, bukan hanya didatangi oleh deep collector saja tetapi orang yang besok mau makan saja masih bingung itu harus diputuskan distribusinya bagaimana. Yang bisa melakukan itu yang memobilisir itu adalah negara atau pemerintah dan ada ditangan presiden.

Inilah kalau dalam Bahasa buah-buahan bahwa inilah masa-masa ranumnya presidem untuk memetik hasilnya dia sebagai presiden bahwa benar tidak kebijakan uang 3-5 % dalam APBN dipakai untuk dana Kesehatan itu ada hasilnya tidak sekarang. Tanya kepada Kementerian Pertahanan bahwa mana bentuk kontribusi untuk sistem ketahanan negara kita dalam situasi seperti ini, tanya ke kementerian-kementerian lain, ada tidak yang dibina pada kementerian-kementeriaan, siap tidak, ternyata tidak ada. Gegap gempitanya akhirnya berubah dari menganggap remeh virus semua sekarang muncul mengambil peran semua ingin memberantas virus untuk menangani warga semuanya kini pakai masker di mana-mana sampai si Menteri Kesehatan yang dulu pakai teori jahe dan kunyit sekarang pakai teori masker. Inilah kekacauan kita, dan terakhir saya hanya mau bilang bahwa insyaflah pemerintah gak usah ngomong investasi, hentikanlah Omnibus Law, mengurus yang paling Basic seperti Kesehatan ini saja tidak bisa. Bayangkan kalau investasi datang yang 1.300 Triliun kata Airlangga Hartarto itu tetapi kondisi kita kayak begini, kondisi dokter mau bersaing sama investasi medis nanti kedepannya.

Terakhir saya ingin menutup, dalam situasi ini kita bisa bangkit atau semakin represif karena ngawur-ngawuran. Saya percaya kita bisa melawati ini kuncinya beri kami informasi yang benar.