Menu Atas

OZ Themes
Wednesday, March 10, 2021, March 10, 2021 WIB
Last Updated 2021-03-16T02:55:56Z

Nurdin Bukan Seorang Pengacara Borju

Penulis: Muhammad Fatir Rahman, mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar.

Lapmijuang - Dia masih saja makan di warung pinggiran ketika temannya yang dulu sama-sama belajar di Fakultas Hukum dihidangkan makanan Jepang yang teramat sulit untuk disebutkan namanya, di atas meja kaca dengan lilin-lilin merah yg menambah kesan Glamor di salah satu rumah makan Jepang di Makassar.

Dia masih saja panas-panasan pergi kekantor menaiki Vespa exclusive keluaran tahun 93 warisan dari almarhum ayahnya, Motor yang sudah menemaninya bahkan sebelum kuliah. Sedang temannya duduk kedinginan di bangku tengah Toyota Alphard yang begitu megah. 

Aku tak habis pikir dengan Dia. Sejujurnya, telah beberapa kali tawaran berdatangan memintanya bekerja sebagai pengacara di beberapa Lawfirm yg bisa dikatakan cukup menggiurkan bagi kebanyakan sarjana hukum, bahkan untuk teman restoran Jepangnya, tapi tidak untuknya.

"Bang Nurdin mau gak gabung bareng kantor kami"? Ajak mereka. "Maaf pak, saya tidak bermaksud untuk tidak sopan, tapi saya masih nyaman dengan kantor saya yang sekarang, jawabnya." Begitu seterusnya.

Sebagai seorang pengacara, dia memang terkenal cukup lihai dan lincah dalam membela klien-kliennya, baik pembelaan di pengadilan maupun di luar pengadilan. Ketika berdebat dengan pihak pemerintah yang menggusur perumahan warga dengan seenaknya, atau ketika dia harus menengahi konflik antara dua orang yang sedang bersengketa. Itulah sebabnya banyak tawaran yang datang kepadanya dari Lawfirm-Lawfirm yg mengenal dia tentunya.

Dia juga mengaku sebagai seorang "Munirian", istilah yang dibuatnya sendiri, yang berarti seorang pengagum almarhum Munir Said Thalib (aktivis kemanusiaan). Sudah memasuki hampir 3 tahun terakhir sejak pertama kali dia bergabung sebagai pengacara LBH Makassar pada tahun 2017. 

Hari-harinya disibukkan dengan membela masyarakat publik (sebab istilah Publik digunakan) dari jalur hukum, dibandingkan beracara di pengadilan, dia lebih sering turun ke jalan untuk berdemonstrasi bersama kaum buruh, pedagang kaki lima, mahasiswa dan golongan-golongan marjinal lainnya dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia yang seringkali diabaikan oleh negara.
 
Bicara tentang ancaman yang diterimanya tak terhitung lagi jumlahnya, mulai dari ancaman verbal sampai fisikal; sebuah badik sempat hampir menusuk perut kurusnya jika saja tak diselamatkan oleh seorang warga, yang berakhir dengan luka tusukan dilengan akibat berusaha merebut badik dari si preman.

Mungkin banyak dari kita yang masih bertanya, kenapa dia mau bekerja dibawah ancaman yang sedemikian horornya? Kalo bagi kebanyakan orang, mending naik Alphard hehehehe.

Alasan pertama adalah, bahwa dia seorang Muslim dan Munirian. Nurdin adalah lulusan salah satu Universitas Islam Negeri di Makassar dan Munir pernah bilang: "tak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak membela mereka yang tertindas/mustadzafin", dan terlalu banyak ayat untuk disebutkan satu persatu di sini. Itulah alasan pertamanya memilih untuk bergabung bersama LBH Makassar. 

Alasan selanjutnya, bahwa ketimpangan sosial ekonomi di negara kita sudah terlalu busuk untuk ditutupi dengan tanah dan sudah terlalu nyata untuk disangkal. Maka, dia memilih untuk jujur (ditengah penyangkalan sebagian orang) atas kenyataan itu dan memilih untuk mengambil peran dalam merubahnya walau sosok preman dengan badik senantiasa menantinya di setiap tikungan jalan perjuangannya. 

Kita tidak benar-benar miskin katanya, tapi dipaksakan untuk tetap miskin, seberapa keras pun kita berusaha. kamu kemungkinan besar akan kaya di masa depan ketika orang tuamu kaya, begitu sebaliknya, kamu kemungkinan besar akan miskin ketika orang tuamu orang miskin, semua karena negara tidak mampu mendistribusikan kesempatan yang sama kepada setiap anak dinegara ini, itulah yang disebut Nurdin dengan istilah KEMISKINAN STRUKTURAL.

Tak banyak orang yang berani untuk mengambil peran sebagaimana Nurdin. Banyak dari kita (termasuk saya) adalah manusia "Naif" dalam pandangan Herbert marcuse; mereka yang tau akan masalah namun tidak memiliki solusi atas itu (padahal jalan untuk menemukan solusi sudah terlalu lebar hari ini), Sedangkan Nurdin adalah manusia "Kritis Transformatif" yang tau akan adanya masalah berikut solusinya dan terjun langsung mengambil peran aktif menyelesaikan problem yang ada demi untuk menuju masyarakat yang lebih baik. 

Pertanyaannya masih adakah sosok Nurdin di masa sekarang ini ? Hm, mudah mudahan masih ada, kalau masih ada semoga Panjang umur Nurdin dan sahabat perjuangan sekalian. 

Salam hangat!