Menu Atas

OZ Themes
Tuesday, March 9, 2021, March 09, 2021 WIB
Last Updated 2021-03-16T02:55:56Z

Urgensi Pengesahan RUU PKS Menurut Dewan Pembina Dewi Keadilan Sulsel

Foto: Lusiana, salah satu pemateri sedang menyampaikan materinya (kiri), Asratillah pemateri ke dua (tengah) dan Nurfadilla (kanan) sebagai moderator

Lapmijuang - Korps HMI Wati (Kohati) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Syariah dan Hukum Cabang Gowa Raya selenggarakan dialog dengan tema "Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" berlangsung di warkop Radja Gowa, dalam kegiatan tersebut mengadirkan Dua pembicara, Lusia dari Dewi Keadilan Sulsel, Asratillah dari Profetik Istitute dipandu oleh Nurfadillah dari Kohati Syariah dan Hukum. 

Kegiatan yang berlangsung pada hari Senin Delapan Maret 2020 tersebut dimulai sejak jam 19:30 wita. Dalam diskusi itu pemateri mendorong Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. 

Lusiana Palulungan selaku pemateri dari Dewi Keadilan Sulawesi Selatan, mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan dirinya yang juga aktif mengawal berbagai persoalan kekerasan seksual melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Sulawesi Selatan."Saya juga aktiv di LBH Apik Sulsel, hari ini disayangkan sarjana hukum tidak banyak yang mau bergabung di lembaga yang tidak memiliki keuntungan, mereka lebih suka bergabung di Law Firm yang orientasinya profit", ucapnya. 

Lebih lanjut, Lusiana yang juga alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tersebut menjelaskan seperti apa saja pelecehan seksual. "Pelecehan sesksual itu ada Dua, Pelecehan fisik berarti ke tubuh non fisik bisa ke lirikan, bicara kepada orang lain. Orang lain itu siapa saja mau dia laki laki maupun perempuan, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, terlecehkan. Kalau dilirik dari ujung kaki sampai rambut, itu masuk pelecehan seksual. Bisa proses apabila ada aduan, tapi ingat dalam kuhp pidana selama ini tidak dianggap kalo tidak ada aduan," Ungkap Lusiana.

Ia menambahkan memang perlu untuk mengesahkan RUU PKS, "Kenapa RUU ini penting? Apa dampak kejelasan hukum, karena keterbatasan jenis kekerasan seksual jadi kita lihat di KUHP pidana, pelecehan hanya secara umum pertama adalah kekerasan seksual, kedua pencabulan ketiga perkosaan, itu batasan jenis pelecehan seksual," Ucap Lusiana.

Sementara itu kasus kekerasan seksual dalam aturan hukum menuntut adanya dua alat bukti yang sah untuk memproses kasusnya "Kalo dia menggunakan kuhap dia harus punya dua alat bukti yang sah bisa visum bisa dua orang saksi, lantas pertanyaannya kalo orang memperkosa apakah dia memperkosa di depan umum? jadi seluruh kasus perkosaan tidak ada yang bisa jadi saksi kecuali korban dan pelaku," tambah lusiana.

Lusiana menilai bahwa RUU PKS ini harus segera disahkan, "kekerasan berawal dari pikiran yang tidak dikontrol implikasinya tindakan, penting menjadi kesadaran kita Undang-undang ini urgen untuk didorong," tambahnya.

Selain itu lusiana menyarankan agar para aktivis kohati membuka posko-posko pengaduan untuk mengadvokasi para korban pelecehan.

Data yang dihimpun oleh Lapmi Juang dari  Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) kota Makassar Tahun 2020 ada 300-an kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Makassar. Namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya kasus kekerasan di Makassar selalu lebih tinggi dari daerah lain di Sulawesi Selatan, mencapai ribuan kasus.

Dihimpun dari website dp3amakassarkota.info, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Kota Makassar, Tenri A Palallo pada tanggal 23 Februari 2021 membeberkan, pada tahun 2015 jumlah kasus sebanyak 1.025 lalu tahun 2016 naik menjadi 1.175 kasus. Kemudian tahun 2017, kenaikannya sangat drastis yakni 1.406 kasus. Pelan-pelan jumlah kasus menurun pada tahun 2018 yakni 1.300 kasus. Di tahun 2019, jumlah kasus naik lagi menjadi 1.351 kasus.
Tapi masuk tahun 2020 terjadi penurunan drastis sampai 300 lebih kasus. 

Sementara itu Pemateri ke Dua, Asratillah menilai ada hal yang membuat pemerintah takut mengesahkan RUU PKS ini salah satunya karena dapat mengancam kepentingan mereka. 

"Kenapa undang-undang ini tidak menjadi prioritas, yang pertama kebijakan yang tidak populis kemudian yang kedua karena RUU ini dianggap oleh beberapa politisi dan partai politik bisa mengancam kepentingan elektoralnya kalo ketahuan oleh pesantren pesantren, oleh ormas-ormas yang jadi lumbung suara partai politik tersebut. Kemudian yang ketiga RUU ini berisi kebijakan yang dianggap bertentangan dengan penafsiran maenstream agama yang ada terhadap peran gender" Ucap Asratillah.

Asratillah menambahkan hal yang perlu dilakukan sekarang adalah mengarus utamakan relasi gender yang lebih adil. "Hal yang perlu dilakukan sekarang adalah mengarus utamakan pemahaman relasi gender atau relasi seksual yang lebih adil, pekerjaan rumah bagi kita adalah melakukan reinterpretasi atau penafsiran ulang rerhadap paham agama yang tidak bernuansa gender yang tidak ramah atau menempatkan perempuan sebagai objek seksual dalam rumah." Tutupnya.

Penulis: Lihind